Sabtu, 02 Januari 2016

CERITA IREN


       Aku Iren Pratiwi. 17 tahun. Mengaku sebagai seorang pencinta kucing namun tidak memelihara kucing di rumah. Terlahir sebagai seorang gadis yang cuek, maniak komputer, dan ditakdirkan menyukai serial kartun negeri sakura macam Narto Syaipudin, seorang manusia setengah siluman anjing bernama InuYasha, samurai dengan tanda silang yang membekas di sebelah kiri pipinya, juga dua anak kembar dengan kakak galak yang bernama Ros—ah, bukan, tentu itu nggak termasuk. Kecuali jika kau melihat Upin dan Ipin dengan mata bulat besar beserta rambut yang mulai lebat dengan warna-warni yang mencolok. Mungkin akan seperti itulah Upin-Upin jika diproduksi di Jepang. Upin-Ipin Anime Version.

       Oh iya, tahukah kamu bahwa sampai saat aku duduk manis di ruang lab komputer ini aku masih berstatus jomblo? Well, itu tidak penting, sih. Tetapi aku hanya ingin memberitahumu. Aku masih cukup ingat dengan kalimat yang kutulis besar-besar dengan tinta hitam tebal di buku diary-ku. 'NGGAK ADA YANG NAMANYA PACARAN SEMASA SEKOLAH! APA-APAAN ITU PACARAN. BUANG-BUANG WAKTU AJA!'

       Haaa, mungkin itu juga yang mendasari mengapa sampai detik ini aku nggak punya pacar. Janji keramat. Nggak mungkin kan, aku menjilat lidahku sendiri? Cukup Farhat Abbas yang melakukannya. Terlepas dari kenyataan bahwa memang nggak ada seorang pun teman lelaki yang dekat denganku. Saat ini.

       Dua tahun yang lalu, aku mempunyai teman laki-laki saat masih duduk di bangku sekolah menengah. Aku berteman baik dengan beberapa anak.

       Masih teringat jelas di benakku saat bagaimana dengan isengnya aku menjulurkan kaki ketika Dio lewat sehingga dia tersandung dan hampir jatuh, saat Nur-M kehilangan buku matematika ketika ulangan akan dimulai, waktu Badri tidur dan aku memposting foto eksklusif dirinya di grup efbe (tak ketinggalan pula ilernya), dan beberapa kejadian menarik lainnya. Kami berteman, dan aku suka menjaili mereka. Sebab, mereka tipikal orang yang 'enak' untuk ditindas! Hehe. 
Oh, betapa menyenangkannya masa-masa itu. Namun, kuulangi, naasnya, sekarang aku nggak punya satupun teman laki-laki yang dekat denganku. Ya, untuk saat ini memang nggak ada. Walau begitu aku masih bertanya-tanya. Mengapa??

       Untuk itu pada suatu malam aku mematut diriku di depan cermin. Hal yang paling jarang aku lakukan semenjak aku kembali mengenal Narto, dkk.

       Ya, bisa dibilang aku tidak terlalu jelek, meski jauh dari kata cantik. Meski ditumbuhi beberapa jerawat yang mulai aktif bersemayam awal tahun lalu, setidaknya hidungku mancung, walau gigiku gingsul. Gingsul itu manis, bukan begitu? 
Tetapi meski banyak kekurangan, aku cantik, tetap cantik! Tentu saja. Ibuku yang mengatakannya. Haa, kena' kau!!

       Aku tersadar dari kesibukanku melamun saat bel sekolah yang mirip es krim wal*s berbunyi. Aku sering berpikir, mengapa mereka (orang-orang sekolah) memilih bel seperti itu untuk dibunyikan di sekolah. Akibatnya, banyak orang yang salah paham. 
Salah satunya temanku yang sedang berjalan menuju ke arahku saat ini, Maroh. Saat kali pertama mendengarnya, ia bertanya padaku. “Ren, koperasinya jualan es krim, ya?” tanyanya polos. Aku pun menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

       “Ren,” panggil cewek berpipi bakpao itu.

       “Oi, Ren.. Ke kantin, yuk! Udah laper, nih..” Carla yang baru datang langsung mengeluh, tangannya mengelus-elus perutnya.

       “Yuk dah!” Aku pun bangkit dari dudukku. Mengikuti Maroh dan Carla yang keluar lebih dulu.

       “Yang lain nggak pada ikut?” tanyaku, karena merasa sepi hanya bertiga.

       “Cita nitip, Upi sama Iqor ke masjid,” jelas Maroh sambil merapikan jas almameter kebanggaan jurusan kami.

       “Mereka mau bersih-bersih masjid?” tanyaku yang langsung saja dibantah oleh Carla. Aku nyengir. Tentu aku sudah tahu jawaban dari pertanyaanku sendiri. Mereka sedang sholat dhuha. Nah, jika kamu ingin bertanya persoalan agama, tanyakan saja pada Ustadzah Iqor juga Ustadzah Upi. Dari kami berlima, dua orang itulah yang paling religius.

                               *****

       Meski jomblo, aku sering menjumpai cowok di dalam mimpiku. Umumnya, mereka adalah cowok yang sering kujumpai dalam kehidupan sehari-hari.

       Aku pernah memimpikan Budi (bukan nama sebenarnya), tetangga sebelah rumah yang dua tahun lebih tua dariku. Nggak ada yang aneh dalam mimpi itu, hanya percakapan biasa yang samar-samar bisa kuingat saat bangun tidur.

       Kemudian memimpikan seorang teman  yang pernah sekali main ke rumah. Memboncengnya naik motor? Ya ampun! Bahkan di dunia nyata aku belum pernah membonceng laki-laki manapun, kecuali ayahku tentunya. 
        Tetapi, sangat disayangkan, dalam waktu dekat, orang yang kukagumi ini akan segera melepas masa lajangnya, dengan seorang perempuan yang bernama sama denganku. Ya, aku nggak pernah menyangka hal ini nyata dan akan terjadi.

       Suatu hari sepulang prakerin mataku tak sengaja melihat sebuah karton bertuliskan ~ Parjo & Iren ~ di bibir sebuah gang, dengan petunjuk arah dihiasi janur kuning yang melengkung indah di atasnya. Sungguh, saat itu aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Iren yang mana?? Bisakah kami, emm.. Menik—uhuk! Tiba-tiba aku terbatuk kala memikirkannya.

       Dan kini aku sudah tahu jawabannya. Memangnya siapa yang mau dengan gadis SMK ingusan yang memasak air saja sampai gosong? Aishh.. Aku tertawa mengingatnya.

       Ah, hal seperti itu sudah terjadi berulangkali, dua kali maksudku. Kenalanku, orang yang pernah dekat denganku, menikah dengan perempuan yang memiliki nama yang sama denganku. Apa menurutmu aku perlu ganti nama? Coba katakan. Dan ya, semua itu kualami dengan orang yang lebih tua.

       Lalu, bagaimana dengan yang lebih muda?

       Pagi hari saat berangkat sekolah, aku memarkir motor suprapritku. Lewat kaca spion, aku tahu seseorang di belakangku sedang memperhatikanku. Saat kutengok, ha! Ketahuan kau, Nak! 
Dia pun bergegas mengalihkan pandangannya. Kabar baiknya, aku mengenal anak laki-laki itu. Kelas sepuluh otomotif 3. Pernah sekali aku mengampu di kelasnya saat kegiatan kepramukaan.

       Esok harinya, hal yang sama terjadi lagi. Dia anak yang rajin dengan semangat muda yang meluap-luap, walau laki-laki dia selalu berangkat pagi. Aku semakin penasaran dengan bocah itu. Saat aku mulai memperhatikannya dan tertarik tentangnya, esok harinya..

       Aku berangkat sekolah lima menit lebih awal dari biasanya. Aku pun melangkah menjauhi tempat parkir tepat saat dia menurunkan seorang cewek berambut panjang dari boncengan motornya. Ouch, sakitnya tuh.. Right in the kokoro! Geeez, meski aku sudah memperkirakan hal ini sebelumnya, senyum kecut setia menghiasi bibirku sepanjang pagi itu.

       Ada satu kasus lagi, tentang keGeeR-an. Tentang pandangan dan kesan pertama. Singkat cerita istirahat kala itu aku dan teman-temanku pergi ke kantin. Ada seorang anak laki-laki yang menarik perhatianku. Tinggi, berkulit sawo kinyis-kinyis, dan rahangnya kokoh. Tak sengaja pandangan kami bertemu. Sorot matanya tajam. Malu, kutundukkan kepalaku. Dia kemudian berjalan lurus ke arahku. Tapi, keningku berkerut kala mendengar seruannya. Seruan macam itu ditujukan kepadaku? Nggak salah?

       “WOY! Pinjem duit!” ia berjalan lurus melewatiku, menuju ke teman-temannya yang ternyata berada tak jauh di belakangku.
Satu kata yang menggambarkan keadaanku saat itu, LEMAS.

       “Kenapa kamu, Ren? Ren?” Maroh yang baru datang langsung mencemaskan keadaanku.
                               
                                *****

       “Iren, tugas bahasa inggrismu udah jadi?” tanya Cita di sela-sela istirahat.

       Aku mengangguk pelan. “Udah..” fokusku kembali pada komik yang sedang kubaca. “Udah dikumpulkan juga. Kenapa?” aku balik bertanya.

       “Aku lupa bawa kamus, Ren..” akunya lirih.

       “Aku juga, Ren..” tiba-tiba Carla ikut nimbrung.

       “Hmm.. Kebiasaan!” mataku masih fokus dengan komik yang kubaca ketika mengatakannya.

       Cita menarik-narik kerudungku. “Tolong dong, Ren.. Kalo nggak dikumpulin sekarang berabe nih!”

       Dari bangku belakang, Maroh berteriak dengan menyebut namaku. “Iren.. Bahasa inggrisnya tengah hari apa?”

       Aku tak kuasa menolak. “Midnight..” kata itu meluncur bebas dari mulutku.

       “Well-known apa ya, Ren?” tanya suara lain, kutebak ini suara Iqor yang sedang terserang flu. Bindeng.

       “Hmm.. Well-known  itu Popular.”

       “Sama aja Famous.. Terkenal.” Upi menambahkan. “Takdir itu fate ya? Kalo ditakdirkan fate-nya dikasih tambahan 'd'?” Upi bersuara lagi.

       “Iya.. Itu pinter..”

       “Kamu nomer 5 ngisinya tadi apa?”

       “Aeh, Do it with your own risk, apaan?”

       “...”

       Begitulah. Walaupun bahasa inggrisku nggak selancar orang inggris dan memoriku terbatas, tapi aku biasa menjadi sasaran 'pertanyaan' teman-temanku. Sehingga mereka sering menyebutku 'Kamus Berjalan'. Entahlah, aku merasa senang bercampur sedih ketika mereka menyebutkannya.

       “Aduh, lieur mikirin bahasa inggris! Makan aja yukk!”

       “Iya nih, makan dulu aja yuk!” Cita setuju dengan usulan Carla. Maka ia pun menutup buku bersampul biru tua itu. “Nih, aku bawa sambel terasi favorit kalian semua.”

       “Wah, asik nih! kebetulan aku nggak bawa bekal. Nimbrung boleh, ya?” tanpa persetujuan, aku menutup komik Detective Conan yang tengah kubaca dan bergabung bersama mereka. Mencicipi satu persatu makanan yang mereka bawa. Kami makan bersama-sama. Sesekali tertawa karena celetukan Carla.

       Ahh.. Berkumpul bersama kawan-kawan seperti ini jauh lebih menyenangkan! Dan inilah yang aku cari. Kebersamaan. Esok hari, pasti aku akan merindukan saat-saat seperti ini. Itu pasti. Berdo'a saja, semoga kita diberikan kesehatan dan umur yang panjang. Aamiin.

       Tak peduli dengan status jones yang hampir 4 tahun aku sandang ini. Aku sepenuhnya sadar, kita nggak perlu pusing-pusing memikirkannya. Karena aku percaya Allah sudah menentukan jodoh kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah meng-upgrade diri. Just enjoy your life!

                             -SELESAI-


*Cuap-cuap Penulis*

Umm.. Hai.. Omong-omong, apa tulisan gaje di atas pantas disebut cerpen?

Ugh.. Maaf saja, karena yang kutulis ini ide-ide yang terlintas di pikiranku saat itu. Ya, cerita di atas muncul karena keresahan-keresahanku sebagai seorang remaja. (80% berdasarkan pengalaman pribadi)

Kadang merasa diri ini sangat jauh berbeda dari individu lain, mengapa ia bisa begini sedangkan aku tidak? Seakan-akan aku atau kami, yang masih memegang prinsip kuno “dilarang pacar-pacaran, wong masih anak sekolah” ini menjadi minoritas. 
Bukan, bukan berarti Aku merasa paling benar, aku sadar sepenuhnya diri ini masih banyakkk sekali kekurangan.

Walau begitu, menjadi 'single' seperti ini adalah jalan yang aku pilih, tapi kadang kalau ingat, kok malah jadi galau sendiri ya? haha. (ilmune_isih_lemah.com)

Whatever, Allah sudah punya rencana. Kalem wae, xixi. Lagipula aku nggak sendiri, hidupku dikelilingi oleh para Jomblowati! :D
Jadi..

Hidup Jomblo
Hidup Single!

Oktober, 2015

**Bonus Pic

Sumber : google.com

Tidak ada komentar: